Perspektif
dimaknai sebagai sikap dan keyakinan terhadap acuan dasar berpikir yang
kemudian membentuk cara pandang seseorang dalam memahami sebuah isu.
Perspektif itu kemudian menuntun dan mengarahkan tindakan. Dengan
demikian, ketepatan tindakan, khususnya dalam konteks pemandirian Desa,
pemberdayaan masyarakat, ditentukan oleh ketepatan perspektif berpikir
para pelakunya.
Perspektif tentang (misalnya) kemiskinan yang dianut seseorang, jelas akan menunjukkan sikap dan arah tindakan yang bersangkutan dalam upaya memberdayakan masyarakat. Penganut perspektif Ekonomis akan melihat kemiskinan sebagai persoalan modal, teknologi produksi, pasar….‟ Seorang Pemberdaya kemudian menuntun masyarakat pada berbagai kegiatan untuk mengakses - meningkatkan modal, keterampilan, bantuan mesin pengolah, dst. Sedangkan penganut perspektif Hak, meyakini kemiskinan terjadi karena tidak terpenuhinya hak masyarakat untuk hidup secara layak. Perspektif itu kemudian menuntun pelaku memasuki wilayah „pemenuhuan kewajiban pemerintah‟ hal itu mengantarkan pada persoalan/isu tentang tugas Negara, dan hubungan antara Negara dengan warga negaranya.
Bagaimana mengetahui atau memahami kerangka pikir yang mendasari konstruksi Undang-Undang Desa? kerangka pikir itu tentu tidak dinyatakan secara naratif atau langsung dapat terbaca dari pasal-demi pasal yang tertera dalam Undang-Undang Desa, tetapi akan terbaca apabila si pembaca memiliki wawasan/informasi yang memadai tentang “aliran pemikiran” atau teori berkenaan dengan isu-isu tertentu terkait berbagai aspek penting tentang desa, baik dari segi sejarah, budaya, sosiologis, politik, pemerintahan, maupun hukum.
Terdapat empat cara pandang terhadap keberadaan desa, sebagimana dipaparkan di bawah ini:
Cara pandang 1: memandang desa hanya sebagai wilayah administratif, yang kemudian melahirkan desa birokratis, dengan cirikhas: pemerintah desa lemah dan masyarakat juga lemah. Cara pandang ini terjadi juga dalam praktik, terbukti banyak desa di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, yang tidak memiliki pemerintahan desa yang kuat dan masyarakat yang kuat. Desa semacam ini tidak menghadirkan kepala desa sebagai pemimpin lokal yang kuat, kecuali hanya sebagai pesuruh atau “mandor” yang meenjalankan tugas-tugas administratif dari atas. Desa tidak memberikan manfaat kepada warga secara hakiki, kecuali hanya memberikan pelayanan administratif. Demikian juga dengan kondisi masyarakat yang tidak memiliki inisiatif dan swadaya yang kuat, kecuali hanya tergantung pada bantuan dari pemerintah.
Cara pandang 2: memandang desa sebagai kepanjangan tangan negara, atau disebut sebagai desa korporatis. Desa semacam ini menampilkan pemerintah desa, khususnya kepala desa, yang kuat dalam melayani warga dan mengontrol masyarakat, sebagaimana diterapkan oleh Orde Baru dengan UU No. 5/1979. Masyarakat sipil tidak tumbuh di desa, sehingga melahirkan kepala desa yang dominatif dan otokratis tanpa kontrol dari masyarakat.
Cara
pandang 3: memandang desa sebagai persekutuan masyarakat (self
governing community). Ada dua aliran dalam cara pandang ini. Pertama,
aliran komunitarian klasik yang memuja komunitas (masyarakat adat),
sebuah komunitas yang sangat kuat memiliki ikatan komunal dan kearifan
lokal dalam mengelola sumberdaya lokal sebagai property rights mereka.
Termasuk memiliki demokrasi komunitarian, yakni demokrasi yang menolak
kebebasan individu dan lebih mengutamakan kebaikan bersama. Kedua,
aliran libertarian, yang memadang desa tidak perlu memiliki pemerintah
desa yang kuat, juga tidak perlu didukung dengan demokrasi perwakilan
melalui Badan Perwakilan Desa (BPD). Masyarakat, termasuk individu
anggota masyarakat, menjadi titik central perhatian cara pandang ini.
Artinya setiap individu harus kuat, sadar akan hak-haknya, dan kemudian
membangun modal sosial (social capital) serta melakukan aksi kolektif
dalam wadah masyarakat untuk mencapai kehendak dan tujuan kolektif itu.
Cara pandang 4: memandang desa bukan sekadar kampung halaman, perkumpulan komunitas, pemukiman penduduk atau wilayah administratif, tetapi sebagai entitas seperti “Negara kecil”. Konsep “Negara Kecil” sengaja kami beri “tanda petik” karena kami posisikan sebagai sebuah metafora yang bisa memudahkan pemahaman.
Metafora ini tentu serupa dengan Liefrinck van der Tuuk (1886-1887) yang membuat metafora desa sebagai “republik kecil”, setelah dia melakukan penelitian di Buleleng Bali Utara. Negara kecil bukanlah negara dalam negara, melainkan sebagai organisasi lokal yang memiliki wilayah, kekuasaan, rakyat, sumberdaya (agraria, hutan, sungai, dan sebagainya), livelihood, maupun budaya dan institusi (identitas, norma, nilai, aturan, lembaga, aktor, dll). Desa sebagai negara kecil memiliki pemerintahan yang kuat sekaligus masyarakat yang kuat. Sebagai negara kecil, desa mempunyai beberapa makna penting:
- Sebagai negara kecil desa berfungsi sebagai basis sosial, basis politik, basis pemerintahan, basis ekonomi, basis budaya dan basis keamanan. Basis ini merupakan fondasi. Jika fondasi negara kecil ini kuat maka bangunan besar atau negara besar yang bernama NKRI akan menjadi lebih kokoh. Sebagai basis sosial, desa merupakan tempat menyemai dan merawat modal sosial (kohesi sosial, jembatan sosial, solidaritas sosial dan jaringan sosial) sehingga desa mampu bertenaga secara sosial. Sebagai basis politik, desa menyediakan arena kontestasi politik bagi kepemimpinan lokal, sekaligus arena representasi dan partisipasi warga dalam pemerintahan dan pembangunan desa. Dengan kalimat lain, desa menjadi arena bagi demokratisasi lokal yang paling kecil dan paling dekat dengan warga. Sebagai basis pemerintahan, desa memiliki organisasi dan tatapemerintahan yang mengelola kebijakan, perencanaan, keuangan dan layanan dasar yang bermanfaat untuk warga. Sebagai basis ekonomi, desa sebenarnya mempunyai aset-aset ekonomi (hutan, kebun, sawah, tambang, sungai, pasar, lumbung, perikanan darat, kerajinan, wisata, dan sebagainya), yang bermanfaat untuk sumber-sumber penghidupan bagi warga. Sudah banyak contoh yang memberi bukti-bukti tentang identitas ekonomi yang memberikan penghidupan bagi warga: desa cengkeh, desa kopi, desa vanili, desa keramik, desa genting, desa wisata, desa ikan, desa kakao, desa mau, desa garam, dan lain-lain.
- Desa sebagai negara kecil bukan hanya sekadar obyek penerima bantuan pemerintah, tetapi sebagai subyek yang mampu melakukan emansipasi lokal (atau otonomi dari dalam dan otonomi dari bawah) untuk mengembangkan asset-aset lokal sebagai sumber penghidupan bersama.
- Desa memiliki property right atau mempunyai aset dan akses terhadap sumberdaya lokal yang dimanfaatkan secara kolektif untuk kemakmuran bersama.
- Desa mempunyai pemerintah desa yang kuat dan mampu menjadi penggerak potensi lokal dan memberikan perlindungan secara langsung terhadap warga, termasuk kaum marginal dan perempuan yang lemah.
- Pemerintahan desa yang kuat bukan dimengerti dalam bentuk pemerintah dan kapala desa yang otokratis (misalnya dengan masa jabatan yang terlalu lama), tetapi lebih dalam bentuk pemerintahan desa yang mempunyai kewenangan dan anggaran memadai, sekaligus mempunyai tatapemerintahan demokratis yang dikontrol (check and balances) oleh institusi lokal seperti Badan Perwakilan Desa dan masyarakat setempat.
- Desa tidak hanya memiliki lembaga kemasyarakatan korporatis (bentukan negara), tetapi juga memiliki organisasi masyarakat sipil.
- Desa bermartabat secara budaya, yang memiliki identitas atau sistem social budaya yang kuat, atau memiliki kearifan lokal yang kuat untuk mengelola masyarakat dan sumberdaya lokal.
Pesan
pokok Desa dalam UU No. 6 Tahun 2014, diletakkan dalam perspektif
paduan antara konsep self governing community dengan Negara kecil (Local
Self Government), dengan menekankan keberadaan Desa sebagai organisasi
masyarakat yang berpemerintahan, yaitu mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat. Mengatur ditunjukkan dengan hak dan kewenangan
Desa membuat produk hukum (Peraturan Desa, Peraturan Bersama Kepala
Desa, dan Peraturan Kepala Desa). Mengurus ditunjukkan dengan hak dan
kewenangan Desa untuk menyelenggarakan segala urusan yang menjadi
kewenangan lokal desa, yang dijabarkan pelaksanaannya dalam empat bidang
(penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat,
dan pembinaan kemasyarakatan).
Dengan demikian, Desa menjadi paduan antara entitas masyarakat dan pemerintah. Hal ini berbeda dengan praksis sebelumnya, baik dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan maupun pembangunan (misalnya melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan) yang cenderung melihat dan memilah masyarakat dengan pemerintah sebagai dua entitas yang berbeda.
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa juga merubah secara mendasar perspektif dan pola hubungan antara Desa dengan Negara. Desa sebagai sebuah entitas diakui keberadaan dan haknya, sebagaimana ditegaskan dalam azas Pengakuan/Rekognisi dan Subsidiaritas, dan Desa memiliki hubungan langsung dengan Negara, sebagaimana diwujudkan melalui Dana Desa.
Perspektif dan konstruksi yang demikian itu, diorientasikan untuk menguatkan kapasitas Desa menuju Desa yang maju, mandiri, dan demokratis dengan bertumpu pada nilai-nilai kegotongroyongan serta memulihkan kolektivisme/kebersamaan dan kepemilikan kolektif atas asset strategis Desa.
Sumber : MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA TAHUN 2016
Labels:
Umum
Thanks for reading Perspektif UU No. 6 Tahun 2014. Please share...!
0 Comment for "Perspektif UU No. 6 Tahun 2014"